Sastra Puisi



SASTRA ANGKATAN ‘45
          . KELAHIRAN ANGKATAN ’45
Mungkin kita bertanya mengapa tidak dipakai Pujangga Angkatan ’42 untuk menyebut angkatan sastra ini. Alasan golongan ini diberi nama kemudian, yaitu setelah proklamasi kemerdekaan. Usul Rosihan Anwar untuk nama angkatan periode ini adalah Pujangga Angkatan ’45 yang segera mendapat dukungan publik opini, meskipun beberapa kritikus mengkritknya dengan keras. Nama sebelumnya disebut Pujangga Gelanggang, karena mereka menulis dalam rubrik majalah Siasat yang diberi nama rubrik Gelanggang.
Latar belakangnya dapat diikhtisarkan sebagai berikut:
1.   Pujangga Angkatan ’45 lahir dan tumbuh di saat revolusi kemerdekaan. Jiwa nasionalisme telah mendarah daging, karena itu suaranya lantang dan keras.
2.   Di zaman Jepang muncul sajak berjudul 1943 dari Chairil Anwar, prosa Radio Masyarakat dari Idrus, dan drama Citra dari Usmar Ismail.
3.   Pada tanggal 29 November 1946 di Jakarta didirikan Gelanggang oleh Chairil Anwar, Asrul Sani,Baharudin, dan Henk Ngantung
Anggaran Dasarnya berbunyi:
Generasi Gelanggang terlahir dari pergolakan roh dan pikiran, yang sedang menciptakan manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian dari bangsa kita. Kita hendak melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat lapuk dan kita berani menantang pandangan, sifat, dan anasir lama untuk menyalakan bara kekuatan baru. penyerapan kebudayaan Baratnya ini mengalami pemasakan dalam jiwa, sehingga lahir bentuk baru. Karena itu, plagiat Chairil Anwar atas karya Archibald Mac Leish yang berjudul The Young Dead Soldiers tidak kelihatan, yang menjelma menjadi sajak Krawang—Bekasi. Namun pula di samping itu Chairil Anwar juga banyak berjasa dalam memodernisasi kesusastraan Indonesia, dalam penjiwaannya yang menjulang tajam.
Setelah Chairil Anwar meninggal (Jakarta, 28 April 1949, dikuburkan di Karet), Surat Kepercayaan Gelanggang baru diumumkan dalam warta sepekan SIASAT tanggal 23 Oktober 1950. dokumen inilah yang dijadikan tempat berpaling untuk dasar segala konsepsi nilai hidup dan seni dari Angkatan ’45.





SASTRAWAN YANG MENJADI TOKOH ANGKATAN ’45.

Beberapa sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45, di antaranya sebagai berikut:
a)   Chairil Anwar
Pria kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini seorang penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya hidup dalam batin (digemari) sepanjang zaman. Salah satu bukti keabadian karyanya, pada Jumat 8 Juni 2007, Chairil Anwar, yang meninggal di Jakarta, 28 April 1949, masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bekasi (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra. Penghargaan itu diterima putrinya, Evawani Alissa Chairil Anwar.
Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: “Krawang-Bekasi”, yang disadurnya dari sajak “The Young Dead Soldiers”, karya Archibald MacLeish (1948).
Dia juga menulis sajak “Persetujuan dengan Bung Karno”, yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.
b)  Asrul Sani
Asrul Sani adalah seniman kawakan yang antara lain dikenal lewat Sajak Tiga Menguak Takdir bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin. Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
c)   Rivai Apin
Jika dibandingkan dengan Chairil Anwar dan Asrul Sani, Rival Apin merupakan penyair yang dibawah mereka. Ia lahir di Pandangpanjang tanggal 30 Agustus 1927. Sejak duduk di bangku sekolah menengah, karya-karyanya telah dipublikasikan ke majalah-majalah terkemuka. Pada tahun 1954, Rivai Apin mengejutkan teman-temannya dengan keluar dari Gelanggang dan kemudian masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), dan ia pernah memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru  yang menajdi kebudayaan PKI. Setelah terjadi GESTAPU, Rivai termasuk tokoh lekra yang diamankan (rosidi hal.105).
KARYA SASTRA YANG MENONJOL
1.   Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam (antologi puisi karya Chairil Anwar)
2.   Tiga Menguak Takdir (antologi puisi Chairil Anwar, Asrul Sani, dan Rivai Apin)
3.   Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (antologi cerpen karya Idrus)

4.   Atheis (novel karya Achdiat Karta Mihardja)
5.   Surat Kertas Hijau dan Wajah Tak Bernama (antologi puisi Sitor Situmorang)
GENRE SASTRA YANG PALING DOMINAN.
Genre sastra yang palang dominan pada angkatan ’45 adalah puisi dan prosa. Chairil anwar membawa corak baru dalam biudang puisi, sedangkan Idrus membawa corak baru dalam prosa. Selama 6 setengah tahun, yakni antara tahun 1942- 1949, chairil anwar menghasilkan 69 sajak asli, 4 slak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, 4 prosa terjemahan. Sedangkan Idrus banyak menghasilkan novel dan prosa.
CIRI- CIRI ANGKATAN ’45.
Karakteristik Karya Sastra Angkatan ’45
a)      Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka.
b)      Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya.
c)      Ekspresionis yaitu selalu menekankan pada segenap perasaan atau jiwa sepenuhnya (adanya aku atau subyek). Kalimat yang digunakan tidak panjang-panjang tetapi kalimat pendek berisi dan seringkali menggunakan kalimat yang hanya terjadi dari satu patah kata saja.
Contoh: puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo, Toto Sudarto Bachtiar, Sutarji Colzum Bahri, beberapa karya Chairil Anwar.


DOA
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerlip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
remuk
Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
(Chairil anwar)




d)     Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi.
e)      Humanisme universal, bersifat kemanusiaan umum. Indonesia dibawa dalam perjuangan keadilan dunia.
f)       Tidak terikat oleh konvesi masyarakat yang penting adalah melakukan segala percobaan dengan kehidupan dalam mencapai nilai kemansiaan dan perdamaian dunia.
g)      Tema yang dibicarakan: humanisme, sahala (martabat manusia), penderitaan rakyat, moral, keganasan perang dengan keroncongnya perut lapar.
h)      Realisme yaitu selalu berusaha melukiskan keadaan atau peristiwa sesuai dengan kenyataan dan selalu mengungkapkan hal-hal yang baik atau tidak membuat orang tersinggung. Karya sastra angkatan ’45 baik puisi maupun prosa banyak dipengaruhi oleh aliran realisme.
i)        Idealis yaitu melukiskan hal-hal utuh tentang gagasan, cita-cita atau pendiriannya.

SASTRA ANGKATAN ‘66
Latar Belakang Munculnya Angkatan 66
Pada awal tahun 50-an terjadi polemik yang seru antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan ”Angkatan 45 sudah mati”  yang berpangkal pada suatu sikap politik.
           
Para seniman muda tidak mau mengelompokkan diri dalam kelompok seniman untuk menyamakan persepsi. Semangat yang dimiliki seniman Angkatan 45 tidak mereka warisi dan mereka tidak menghayati revolusi fisik dengan baik. Seniman muda ini lebih memfokuskan diri pada menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
            Periode 50 bukan saja sebagai pengekor Angkatan 45, tetapi sudah merupakan penyelamat setelah melalui masa-masa kegoncangan. Ciri-ciri periode ini antara lain :
1.   Pusat kegiatan sastra telah meluas keseluruh pelosok Indonesia, tidak hanya berpusat di
     Jakarta atau Yogyakarta saja.
2.   Kebudayaan daerah lebih banyak diungkapkan demi mencapai perwujudan sastra Nasional
     Indonesia.
3.   Penilaian keindahan dalam sastra tidak lagi didasarkan pada perasaan kepada perasaan dan
     ukuran Nasional.
Pada tahun 1959, merupakan tahun yang membawa perubahan dalam dunia kesusastraan sebagai imbas dunia politik. Tujuan sastra pada mulanya mengangkat harkat dan martabat manusia dalam kehidupan yang memiliki nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan. Pada tahun ini sastrawan ingin mengembangkan karya sastranya, dilain pihak tekanan-tekanan partai politik yang mulai mengendalikan pemuda Indonesia sehingga muncul PKI, LEKRA, LKN, LESBUMI, HSBI, LESBI dan lain sebagainya.
Akhirnya Manikebu menjadi konsep sikap dan kepentingan dan kepentingan mereka sebagai angkatan dalam kesustraan yang kemudian dikenal dengan ankatan 66. Akibat fitnah PKI, Manikebu dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Setelah bangkitnya Orde Baru, tahun 1966, maka, Manikebu sebagai konsepsi Angkatan Kesusastraan terbaru, dijadikan landasan ideal Angkatan 1966. Isi Manikebu antara lain :
1.   Kami para seniman cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah manifest kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita politik kebudayaan kami.
2.   Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi kehidupan manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sektor kebudayaan lain. Setiap sektor perjuangan bersama- sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3.   Dalam melaksanakan kebudayaan nasional, kami berusaha mencipta dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat diri kami sebagai bangsa indonesia ditengah-tengah masyarakat dunia.
4.   Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Tiga dasar konsepsi angkatan 66 itu adalah :
1.   Manifes kebudayaan itu sendiri.
2.   Teks penjelasan Manifes Kebudayaan.
3.   Sejarah lahir kebudayaan.
Perbedaan Angkatan 45 dengan Angkatan 66
1.   Lahir karena politik, tidak memperhitungkan politik Lahir karena politik, memperhitungkan politik
2.   Karyanya bernadakan perjuangan Karyanya bernadakan keadilan dunia
3.   Mempunyai sikap sebagai warisan Menegaskan Pancasila peperangan
4.   Mempunyai sikap sebagai akibat falsafah kebudayaan Menegaskan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan
5.   Berorientasi kepada pengarang dunia Lahir akibat penindasan HAM
6.   Karyanya bersifat ekpresi puisi dan realis skeptis pada prosa Karyanya bersifat realis,
    aturalisme, dan ekstensionalisme.
7.   Merupakan nama kumpulan saja sastrawan melulu Merupakan wadah bukan sastrawan, tetapi
    juga budayawan, seniman, dan pelukis.
Penyair Angkatan 66
1.      Taufik Ismail
Lahir di Bukit Tinggi 1937 tetapi dibesarkan di Pekalongan. Karya-karyanya berupa sajak,  cerpen, dan essei mulai dikenalkannya pada tahun 1954. Namun baru mencut tahun1966. Karyanya yaitu sajak Jaket Berlumuran Darah, Harmoni, Jalan Segara. Puisinya Karanganya yaitu Karangan Bunga, Salemba, dan Seorang Tukang Rambutan Kepada Istrinya.
2.      Goenawan Mohamad
Lahir di Batang 1942, pernah menjadi wartawan harian KAMI, pemimpin redaksi
majalah Ekspress, redaksi majalah Horison, Peminmpin majalah tempo dan Zaman. Karyanya
antara lain Interlude (1973), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972) dan lain-lain
3.      W.S Rendra
Rendra termasuk penyair yang kritis. Karena berbagai macam sosial, segi pendidikan, ekonomi, pemerintahan selalu menjadi sorotan dalam karyanya. Karyanya antara lain Balada Sumirah, Balada terbunuhnya Atmo Karpo, Aminah.
Lahirnya angkatan 66 disebabkan :
1.      Karena politik dan memperhitungkan politik
2.      Karena bernadakan keadilan
3.      Menegaskan Pancasila sebagai falsafah kebudayaan
4.      Lahirnya sebagai akibat penindasan hak azazi manusia
5.      Berorientasi kedalam negeri ( Pengarang nasional menggali kebudayaan daerah).
6.      Karya bersifat naturalis, realitas, dan ekstensialitas
7.      Merupakan wadah untuk para sastrawan , ahli budayawan dan pelukis.
            Munculnya nama angkatan ’66 telah diumumkan oleh H.B. Jassin dalam majalah horison nomor 2 tahun 1966. Pada tulisan tersebut dikatakan bahwa angkatan ’66 lahir setelah ditumpasnya pengkhianatan G.30S/PKI. Penanaman angkatan ’66 ini pun mengalami adu pendapat. Sebelum nama angkatan ’66 diresmikan, ada yang memberi nama angkatan Manifest Kebudayaan (MANIKEBU).
1.      Karakteristik
o Muncul adanya angkatan, yaitu angkatan ‘66
o Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga.
Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik, norma ekonomi.
o Adanya sastra protes, contoh: kumpulan sajak Tirani dan Benteng karya Taufik Ismail
o Arti penting sajak angkatan ’66 pertama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati
khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.
2.      Para Pengarang dan Hasil Karyanya
Seperti telah diuraikan di atas, periode 60-an ini telah mulai bermunculan para pengarang baru, namun para pengarang lama pun masih tetap aktif berkarya. Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan di bawah ini:
1.   Taufik Ismail, hasil karyanya: Tirani, benteng, dan Buku Tamu Museum Perjuangan.
2.   Bur Rasianto, hasil karyanya: Mereka Telah Bangkit, Bumi yang Berpeluh, Mereka Akan Bangkit, Sang Ayah, dan Manusia Tanah Air.
3.   Mansur Samin, hasil karyanya: Perlawanan, Kebinasaan Negri Senja, dan Tanah Air.
4.   Arifin C. Noer, hasil karyanya: Lampu Neon, Puisi-puisi yang Kehilangan puisi, dan Kapai kapai.
5.   Satyagraha Hoerip, hasil karyanya: Rahasia Kehidupan Manusia dan Ontologi Persoalan
     persoalan Sastra.
Para pengarang wanita angkatan ’66 antara lain:
1. Isma Sawitri, hasil karyanya: Terima Kasih, Tiga Serangkai, dan Pantai Utara.
2. Titi Said, hasil karyanya: Perjuangan dan Hati Perempuan.
3. titis Basimo, hasil karyanya: Rumah Dara dan Laki-Laki dan Cinta
4. Enny Sumargo, hasil karyanya: Sekeping Hati Perempuan.
5. S. Tjahyaningsih, hasil karyanya: Dua Kerinduan.
Faktor-faktor penyebab pertumbuhan sastra cukup pesat, antara lain adanya taman Ismail Marzuki, didirikannya penerbit Pustaka Jaya, adanya maecenas yang stabil. Maecenas adalah sebagai pelindung seni dan kebudayaandan pemerintah DKI menyelenggarakan lomba menulis roman, naskah drama yang bisa merangsang pengarang sehingga muncul kegiatan seni budaya.
Ciri-Ciri Sastra Angkatan ‘66
            Karya yang dihasilkan bermacam-macam ide dan warna. Contohnya: warna lokal yang terdapat pada Ronggeng Dukuh Paruk karya Achmad Thohari.  Tema yang diangkat banyak mengenai masalah kegelisahan batin dan rumah tangga. Kegelisahan tersebut bersumber pada situasi budaya belum mapan dan situasi-situasi tersebut karena adanya norma politik dan norma ekonomi. Menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan Pancasila dan UUD 45, menentang komunisme dan kediktatoran,  bersama Orde Baru yang dikomandani Jendral Suharto ikut menumbangkan Orde Lama, mengikis habis LEKRA dan PKI. Sastra Angkatan ’66 berobsesi menjadi Pancasilais sejati. Yang paling terkenal adalah kumpulan sajak “Tirani” dan “Benteng” antologi puisi Taufiq Ismail. Hampir seluruh tokohnya adalah pendukung utama Manifes Kebudayaan  yang sempat berseteru dengan LEKRA. Sastra tersebut merupakan sastra protes. Arti penting sajak angkatan ‘66 pertama-tama bukanlah sebagai seni, tetapi merupakan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan.

SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Latar Belakang Munculnya Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.

Taufik ismail mengemas sejarah dalam puisi-puisinya yang masa ketika indonesia pada tahun 1966. Taufik ismail merangkum peristiwa-peristiwa sejarah pada tahun 1966 dalam dua kumpulan puisinya Tirani dan Benteng yang kemudian di terbitkan dalam sebuah buku dengan judul yang sama, Tirani dan Benteng. Dalam kedua kumpulan puisinya ini, Taufik jujur kepada para pembacanya mengenai semua yang terjadi pada tahun 1960 hingga 1966.

Kritikus H.B.Jassin (almarhum) menobatkan Chairil Anwar  sebagai “ pelopor angkatan 45 “, sebuah periodisasi sastrawan Indonesia yang di namai dengan angka keramat tahun kemerdekaan republik Indonesia. Dan yang terpenting, sejumlah puisi Chairil memang jelas-jelas mengumandandkan sepirit perjuangan dan kejuangan bangsa.
Penyair Angkatan Balai Pustaka
a.    Muhammad Yamin
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal dunia pada tanggal 26 Oktober 1962. Karya-karyanya diantaranya tanah air dan bahasa, bangsa. Berdasarkan dari judul karya-karyanya beliau termasuk seorang nasionalis yang memiliki rasa cinta terhadap tanah air.
b.    Roestam Effendi
Rostam Effendi dilahirkan pada tahun 1902 dan menulis pada tahun 1924 dengan bukunya yang berjudul bebasari, kemudian disusul dengan buku yang bejudul percikan permenungan (1926). Penyair ini juga mempunyai sikap nasionalisme yang tinggi.


c.    Sanusi Pane
Sanusi Pane dilaahir di Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968 pada umur 62 tahun. Kumpulan puisi Sanusi Pane banyak menulis puisi diantaranya pancaran cita dan puspa mega.
d.   Sitor Situmorang
Sitor situmorang lahir di harian boho, sebuah desa di danau toba sumatera utara. Ayahnya pernah menjadi orang penting dalam melawan gangguan belanda dan harus menanggung akibatnya. Desanya di bakar dan orangnya di paksa menetap di lembah dekat danau, meninggalkan sisa-sisa dingin kebudayaan batak, yang dalam puisi sitor kemudian menjadi lambang asal usulnya. Sebagai anak kecil, sitor dikirim ke sekolah belanda tempat ia di perkenalkan kebudayaan barat . Ia mengembangkan kepekaan pusitisnya dalam gaung tradisi lisan batak yang di gabung dengan lagu pujian dan khotbah kristen, serta bunyi bahasa melayu, bahasa komunikasi sehari-hari.

Bahasa melayu merupakan bahasa masa depan, juga bahasa masa lalu, bahasa pantun dan syair, bahasa penyair amir hamzah dan hamzah hansyuri, yang karyanya telah mengilhami sitor dalam menggapai keseimbangan dan keselarasan antara bunyi dan irama. Dalam hal bahasa dan gagasan, sitor memiliki silsilah multi bentuk, cukup kuat untuk mencabut dari akarnya serta memberi pegangan dalam dunia kerinduan dan kesepian, keingintahuaan dan nafsu mengembara baru diciptakannya sendiri.
Contoh puisi sitor situmorang:
•    Petikan Dari “Anak Yang Hilang”.
•    Enam Benua.
•    Angin Di Danau Zurich.
Puisi angkatan 50
Subagio Sastro Wardojo
Dalang
Pulang dari seberang pantai
Lidahnya seperti kelu
Dan ia tak sedia
Memainkan lagi bonekanya
Pondoknya tertutup buat tamu
Rakyat yang kebingungan
Mendobrak pintunya dan berteriak :
- Kisahkan lakon hidup ini
dan terangkan apa artinya!
Terbangun dari keheningan
Ia menulis sajak satu kata
Yang paling bagus
Berbunyi “Hong”.
Puisi di atas, memperlihatkan ciri-ciri angkatan 50. Ciri-ciri yang terdapat dalam puisi Dalang karya Subagio Sastro Wardojo adalah berupa epik. Puisi tersebut menceritakan keadaan seorang dalang yang tidak mau bercerita lagi kemudian dia diprotes oleh rakyat untuk menceritakan sebuah lakon.. Selain itu, muncul gaya slogan yang muncul pada baitnya yang kedua baris terakhir.
...Ia menulis sajak satu kata yang paling bagus.
Berbunyi “Hong”
Dalam puisi ini juga terdapat gaya puisi liris. Pada bait pertama puisi ini sangat datar ketika masuk bait kedua emosi yang ditampil oleh pengarang mulai meninggi.
Dekade 50-an
1.    Rendra dengan kumpulan puisinya “Balada Orang-orang Tercinta”.
Penyair ini masih kreatif sampai sekarang.
2.    Sitor situmorang
•    Petikan Dari “Anak Yang Hilang”.
•    Enam Benua.
•    Angin Di Danau Zurich.

Angkatan ‘66 dengan tokoh-tokohnya antara lain:
1.    Taufiq Ismail dengan kumpulan puisinya “Tirani” dan “Benteng”.
2.    Sapardi Joko Damono dengan kumpulan puisinya “Duka-Mu Abadi”.
3.    Hartoyo Andangjaya dengan kumpulan puisinya “Buku Puisi”.
4.    Bur Rasuanto dengan kumpulan puisinya “Mereka Telah Bangkit”.

Pada tahun 1950, beberapa ahli sastra beranggapan bahwa kesusastraan mengalami kemunduran. Salah satu tokoh yang berpandangan bahwa kesusastraan Indonesia mengalami kemunduran adalah Sujadmoko. Dalam esainya yang berjudul Mengapa Konfrontasi, Sujadmoko melihat adanya krisis sastra akibat adanya krisis kepemimpinan politik. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil yang menceritakan psikologisme semata-mata.
Pada tahun 1966, dalam fajar zaman politik Indonesia baru, yaitu zaman Orde Baru, puisi mulai memainkan peranan sosial yang penting penting. Diilhami oleh beberapa sajak Chairil Anwar yang dirasa telah melontarkan perasaan pemuda yang memandang dirinya sebagai angkatan baru pejuang kemerdekaan.

Ciri-ciri puisi tahun ini merupakan sajak-sajak perlawanan. Ciri-ciri tersebut terlihat dari judul-judul puisinya. Sajak tahun 1966 pertama-tama bukanlah sebagai seni melainkan curahan hati khas anak-anak muda yang mengalami kelegaan perasaan setelah masa penindasan. Meskipun demikian, tidak semua sajak-sajak tersebut sekadar untaian kosong. Ada juga sajak-sajak yang menyuarakan tuntutan-tuntutan konkret tentang pangan dan kubutuhan hidup lain.

Secara garis besar, angkatan 50 adalah angkatan yang dimulai dari tahun 1950-1970. Secara instrinsik, terutama unsur estetiknya angkatan 45 dan angkatan 50 sulit dibedakan sebab gaya angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh angkatan 50. Adanya pergantian situasi dari perang kemudian damai, maka para sastrawan mulai memikirkan masalah-masalah yang kemasyaraktan. Pada angktan ini muncul berbagai parta politik yang memilki lembaga kebudayaan sendiri, seperti PNI mempunyai LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional), partai Islam mempunyai Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia), dan PKI mempunyai Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat). Munculnya berbagai partai yang mempunyai lembaga kebudayaan sendiri menyebabkan corak kesusastraan Indonesia bermacam-macam.

Para sastrawan Lekra yang menonjol dantaranya Bakri Siregar, Kalara Akustia, S. Anantaguna, F.L. Risakota, H.R. Banadaharo, dan Sabron Aidit. Sastrawan yang mulai menulis dekade 60-an, antara lain adalah Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Darmanto Jt, Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Kunto Wijoyo, Fudoli Zaini, Danarto, Sutardji Calzoum Bahri, Budi Darma, dan abdul Hadi W.M.
Ciri-ciri puisi angkatan 50 antara lain,
1.    Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang sederhana dari puisi liri,
2.    Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada,
3.    Gaya ulangan mulai berkembang,
4.    Gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan gaya angkatan 45,
5.    Gaya slogan dan retorik.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir
pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

SASTRA ANGKATAN PUJANGGA BARU
Latar Belakang Munculnya Angkatan Pujangga Baru
Buku Pujangga Baru, Prosa dan Puisi yang disusun oleh H.B Jasin adalah sebuah bunga rampai (antologia) dari para pengarang dan penyair yang oleh penyusunnya digolongkan ke dalam Angkatan Pujangga Baru. Seperti diketahui, oleh para ahli dan para penyusun buku-buku pelajaran sastra Indonesia, perkembangan sastra Indonesia dibagi-bagi menjadi angkatan-angkatan. Angkatan Pujangga Baru biasanya ditempatkan sebagai angkatan kedua, yaitu setelah angkatan Balai Pustaka dan mendahului kelahiran angkatan ‘45
Sutan Takdir Alisjahbana, yang pada 1935 berusia 27 tahun, menghentak kalangan intelektual Indonesia dengan pemikirannya yang radikal melalui sebuah artikel berjudul Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru yang dimuat di majalah yang didirikan dan dipimpinnya sendiri, Pujangga Baru. Dalam tulisannya itu, Sutan Takdir Alisjahbana membedakan kebudayaan praIndonesia (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan kebudayaan Indonesia (yang dimuali pada awal abad ke-20).
Pada mulanya,Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia. Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane , Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi, Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.
Barangkali, hanya untuk memudahkan ingatan adanya angkatan baru itulah maka dipakai istilah Angkatan Pujangga Baru, yang tak lain adalah orang-orang yang tulisan-tulisannya pernah dimuat didalam majalah tersebut. Adapun majalah itu, diterbitkan oleh Pustaka Rakyat, Suatu badan yang memang mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah kesenian. Tetapi seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Namun setelah Indonesia merdeka, majalah ini diterbitkan lagi (hidup 1948 s/d 1953), dengan pemimpin Redaksi Sutan Takdir Alisjahbana dan beberapa tokoh-tokoh angkatan 45 seperti Asrul Sani, Rivai Apin dan S. Rukiah.
Mengingat masa hidup Pujangga Baru ( I ) itu antara tahun 1933 sampai dengan zaman Jepang , maka diperkirakan para penyumbang karangan itu paling tidak kelahiran tahun 1915-an dan sebelumnya. Dengan demikian, boleh dikatan generasi Pujangga Baru  adalah generasi lama. Sedangkan angkatan 45 yang kemudian menyusulnya merupakan angkatan bar yang jauh lebih bebas dalam mengekspresikan gagasan-gagasan dan kata hatinya. Angkatan Pujangga Baru, masa-masa tersebut lebih dikenal sebagai Masa Angkatan Pujangga Baru. Masa ini dimulai dengan terbitnya majalah Pujangga Baru pada Mei 1933. Majalah inilah yang merupakan terompet serta penyambung lidah para pujangga baru. Penerbitan majalah tersebut dipimpin oleh tiga serangkai pujangga baru, yaitu Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana
Sebenarnya para pujangga baru serta beberapa orang pujangga Siti Nurbaya sangat dipengaruhi oleh para pujangga Belanda angkatan 1880 (De Tachtigers). Di antara para pujangga Belanda angkatan 80-an, dapat kita sebut misalnya Willem Kloos dan Jacques Perk. J.E. Tatengkeng, seorang pujangga baru kelahiran Sangihe yang beragama Protestan dan merupakan penyair religius sangat dipengaruhi oleh Willem Kloos.
Pujangga religius Islam yang terkenal dengan sebutan Raja Penyair Pujangga Baru adalah Amir Hamzah. Ia sangat dipengaruhi agama Islam serta adat istiadat Melayu. Jiwa Barat itu rupanya jelas sekali terlihat pada diri Sutan Takdir Alisyahbana. Lebih jelas lagi tampak pada Armijn Pane, yang boleh kita anggap sebagai perintis kesusastraan modern. Pada Armijn Pane rupanya pengaruh Barat itu menguasai dirinya secara lahir batin. Masih banyak lagi para pujangga baru lainnya seperti Rustam Effendi, A.M. Daeng Myala, Adinegoro, A. Hasjemi, Mozasa, Aoh Kartahadimadja, dan Karim Halim. Mereka datang dari segala penjuru tanah air dengan segala corak ragam gaya dan bentuk jiwa serta seninya.
Karakteristik Karya Angkatan Pujangga Baru
1.      Dinamis
2.      Bercorak romantik/idealistis, masih secorak dengan angkatan sebelumnya, hanya saja kalau romantik angkatan Siti Nurbaya bersifat fasip, sedangkan angkatan Pujangga Baru aktif romantik. Hal ini berarti bahwa cita-cita atau ide baru dapat mengalahkan atau menggantikan apa yang sudah dianggap tidak berlaku lagi.
3.      Angkatan Pujangga Baru menggunakan bahasa Melayu modern dan sudah meninggalkan bahasa klise. Mereka berusaha membuat ungkapan dan gaya bahasa sendiri. Pilihan kata, Penggabungan ungkapan serta irama sangat dipentingkan oleh Pujangga Baru sehingga dianggap terlalu dicari-cari
4.      Ditilik bentuknya, karya angkatan Pujangga Baru mempunyai ciri-ciri:
a.    Bentuk puisi yang memegang peranan penting adalah soneta, disamping itu ikatan-ikatan lain seperti quatrain dan quint pun banyak dipergunakan. Sajak jumlah suku kata dan syarat-syarat puisi lainnya sudah tidak mengikat lagi, kadang-kadang para Pujangga Baru mengubah sajak atau puisi yang pendek-pendek, cukup beberapa bait saja. Sajak-sajak yang agak panjang hanya ada beberapa buah, misalnya ”Batu Belah” dan ”Hang Tuah” karya Amir Hamjah.
b.   Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan adat lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana
c.    Bentuk karya drama pun banyak dihasilkan pada masa Pujangga Baru dengan tema kesadaran nasional. Bahannya ada yang diambil dari sejarah dan ada pula yang semata-mata pantasi pengarang sendiri yang menggambarkan jiwa dinamis.
Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:
1.      D R A M A
Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkankebesaran dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasakebangsaan. Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru.
Contoh:
Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933)
Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934)
Nyai Lenggang Kencana karya Arymne Pane (1936)
 Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937)
Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940)
Airlangga karya Moh. Yamin (1943)
2.      P U I S I
Puisi Pujangga Baru adalah awal puisi Indonesia modern. Untuk memahami puisi Indonesia modern sesudahnya dan puisi Indonesia secara keseluruhan, penelitian puisi Pujangga Baru penting dilakukan. Hal ini disebabkan karya sastra, termasuk puisi, tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11), termasuk karya sastra. Di samping itu, karya sastra itu merupakan response (jawaban) terhadap karya sastra.
Karya sastra, termasuk puisi, dicipta sastrawan. Sastrawan sebagai anggota masyarakat tidak terlepas dari latar sosial–budaya dan kesejarahan masyarakatnya. Begitu juga, penyair Pujangga Baru tidak lepas dari latar sosial-budaya dan kesejarahan bangsa Indonesia. Puisi Pujangga Baru (1920-1942) itu lahir dan berkembang pada saat bangsa Indonesia menuntut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Oleh karena itu, perlu diteliti wujud perjuangannya, di samping wujud latar sosial-budayanya.
Untuk memahami puisi secara mendalam, juga puisi Pujangga Baru, perlu diteliti secara ilmiah keseluruhan puisi itu, baik secara struktur estetik maupun muatan yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada penelitian puisi Pujangga Baru yang tuntas, sistematik, dan mendalam. Sifatnya penelitian yang sudah ada itu impresionistik, yaitu penelaahan hanya mengenai pokok-pokoknya, tanpa analisis yang terperinci, serta diuraikan secara ringkas.
Puisi merupakan struktur yang kompleks. Oleh karena itu, dalam penelitian puisi Pujangga Baru digunakan teori dan metode struktural semiotik. Kesusastraan merupakan struktur ketandaan yang bermakna dan kompleks, antarunsurnya terjadi hubungan yang erat (koheren). Tiap unsur karya sastra mempunyai makna dalam hubungannya dengan unsur lain dalam struktur itu dan keseluruhannya Akan tetapi, strukturalisme murni yang hanya terbatas pada struktur dalam (inner structure) karya sastra itu mengasingkan relevansi kesejarahannya dan sosial budayanya. Oleh karena itu, untuk dapat memahami puisi dengan baik serta untuk mendapatkan makna yang lebih penuh, dalam menganalisis sajak dipergunakan strukturalisme dinamik , yaitu analisis struktural dalam kerangka semiotik.
Karya sastra sebagai tanda terikat kepada konvensi masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra tidak terlepas dari jalinan sejarah dan latar sosial budaya masyarakat yang menghasilkannya, seperti telah terurai di atas.
Di samping itu, untuk memahami struktur puisi Pujangga Baru, perlu juga diketahui struktur puisi sebelumnya, yaitu puisi Melayu lama yang direspons oleh puisi Pujangga Baru.
Angkatan Pujangga Baru dan Karyanya
1.      Sutan Takdir Alisjahbana
Orang besar ini dilahirkan di Natal (Tapanuli) pada 11-02-1908. Setelah
menamatkan HIS di Bengkulu ia memasuki Kweekschool di Bukitinggi dan kemudian HKS di Bandung. Setelah itu ia belajar untuk Hoof Dacte di Jakarta dan juga belajar pada Sekolah Hakim Tinggi. Selain itu belajar pula tentang filsafat dan kebudayaan pada Fakultas sastra. Pendidikan yang beraneka ragam yang pernah dialaminya serta cita-cita dan keinginan yang keras itu, menyebabkan keahlian yang bermacam-macam pula pada dirinya. Karangannya mempunyai bahasa yang sederhana tetapi tepat. Karya-karyanya antara lain:
a)      Tak Putus Dirundung Malang (roman, 1929)
b)      Dian Tak Kunjung Padam (roman, 1932)
c)      Anak Perawan Disarang Penyamun (roman, 1941)
d)     Layar Terkembang (roman tendenz, 1936)
e)      Tebaran Mega (kumpulan puisi/prosa lirik, 1936)
f)       Melawat Ke Tanah Sriwijaya (kisah, 1931/1952)
g)      Puisi Lama (1942)
h)      Puisi Baru (1946)
2.      Amir Hamzah
Amir Hamzah yang bergelar Pangeran Indera Putra, lahir pada 28-2-1911 di Tanjungpura (Langkat), dan meninggal pada bulan Maret 1946. Ia keturunan bangsawan, kemenakan dan menantu Sultan Langkat, serta hidup ditengah-tengah keluarga yang taat beragama Islam. Ia mengunjungi HIS di Tanjungpura, Mulo di Medan, dan Jakarta AMS, AI (bagian Sastra Timur) di Solo. Ia menuntut ilmu pada Sekolah Hakim Tinggi sampai kandidat. Amir Hamzah lebih banyak mengubah puisi sehingga mendapat sebutan “Raja Penyair” Pujangga Baru.
Karya-karyanya antara lain:
a)      Nyanyi Sunyi (kumpulan sajak, 1937)
b)      Buah Rindu (kumpulan sajak, 1941)
c)      Setanggi Timur (kumpulan sajak, 1939)
d)     Bhagawad Gita (terjemahan salah satu bagian mahabarata)
3.      Sanusi Pane
Sanusi Pane lahir di Muara Sipongi, 14-11-1905. Ia mengunjungi SR di Padang Sidempuan, Sibolga, dan Tanjungbalai, kemudian HIS Adabiyah di Padang, dan melanjutkan pelajarannya ke Mulo Padang dan Jakarta, serta pendidikannya pada Kweekschool Gunung Sahari Jakarata pada tahun 1925. Pada tahun 1928, ia pergi ke India untuk memperdalam pengetahuannya tentang kebudayaan India. Sekembalinya dari India ia memimpin majalah Timbul. Di samping sebagai guru pada Perguruan Jakarta, ia menjabat pemimpin surat kabar Kebangunan dan kepala pengarang Balai Pustaka sampai tahun 1941. Pada jaman pendududkan Jepang menjadi pegawai tinggi Pusat Kebudayaan Jakarta dan kemudian bekerja pada Jawatan Pendidikan Masyarakat di Jakarta.
Karya-karyanya antara lain:
a)      Pancaran Cinta (kumpulan prosa lirik, 1926)
b)      Puspa Mega (kumpulan puisi, 1927)
c)      Madah Kelana (kumpulan puisi, 1931)
d)     Kertajaya (sandiwara, 1932)
e)      Sandyakalaning Majapahit (sandiwara, 1933)
f)       Manusia Baru (Sandiwara, 1940)
4.      Muhamad Yamin, SH.
Prof. Muhammad Yamin, SH. dilahirkan di Sawahlunto, Sumbar, 23 agustus 1905. Setelah menamatkan Volkschool, HIS dan Normaalschool, ia mengunjungi sekolah-sekolah vak seperti sekolah pertanian dan peternakan di Bogor. Kemudian menamatkan AMS di Jogyakarta pada tahun 1927. Akhirnya ia memasuki Sekolah Hakim di Jakarta hingga bergelar pada tahun 1932. Pekerjaan dan keahlian Yamin beraneka ragam, lebih-lebih setelah Proklamasi Kemerdekaan 19’45, ia memegang jabatan-jabatan penting dalam kenegaraan hingga akhir hayatnya (26 Oktober 1962). Ia pun tidak pernah absen dalam revolusi.

Karya-karyanya antara lain:
a)      Tanah Air (kumpulan puisi, 1922)
b)      Indonesia Tumpah Darahku (kumpulan puisi, 1928)
c)      Menanti Surat dari Raja (sandiwara, terjemahan Rabindranath Tagore)
d)     Di Dalam dan Di Luar Lingkungan Rumah Tangga (Terjemahan dari Rabindranath Tagore)
e)      Ken Arok dan Ken Dedes (sandiwara, 1934)
f)       Gajah Mada (roman sejarah, 1934)
g)      Dipenogoro (roman sejarah, 1950)
h)      Julius Caesar (terjemahan dari karya Shakespeare)
i)        6000 Tahun Sang Merah Putih (1954)
j)        Tan Malaka (19’45)
k)      Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (sandiwara, 1957)
5.      J.E. Tatengkeng
Lahir di Kalongan, Sangihe, 19 Oktober 1907. Pendidikannya dimulai dari SD kemudian pindah ke HIS Tahuna. Kemudian pindah ke Bandung, lalu ke KHS Kristen di Solo. Ia pernah menjadi kepala NS Tahuna pada tahun 1947. Karya-karyanya bercorak religius. Dia juga sering melukiskan Tuhan yang bersifat Universal. Karyanya antara lain Rindu Dendam (kumpulan sajak, 1934).
6.      Rustam Effendi
Lahir di Padang, 18 Mei 1905. Dia aktif dalam bidang politik serta pernah
menjadi anggota Majelis Perwakilan Belanda sebagai utusan Partai Komunis. Dalam karyanya banyak dipengaruhi oleh bahasa daerahnya, juga sering mencari istilah-istilah dari Bahasa Arab dan Sansakerta. Karyanya antara lain:
a.       Percikan Permenungan (kumpulan sajak, 1922)
b.      Bebasari (sandiwara bersajak, 1922)

Jangan biarkan teman kamu kudet & kuper, bagikan info ini

Blogger
Disqus
Pilih Sistem Komentar Yang Anda Sukai

Tidak ada komentar